Kisah Muhammad SAW Bagian 55
KISAH RASULULLAH ﷺ
(Bagian 55)
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمد
Quraisy Gempar
Saat itu, di dekat Ka’bah telah berkumpul para pembesar Quraisy. Mereka melihat Rasululllah, Abu Jahal bertanya dengan congkak,
“Hai Muhammad! Adakah engkau mendapat suatu perkara baru lagi?”
“Ya, aku baru mendapat suatu perkara yang baru.”
“Apa itu? Ceritakanlah,” Abu Jahal bersiap mengejek.
“Semalam aku pergi ke Baitul Maqdis.”
Senyum Abu Jahal melebar,
“Ke Baitul Maqdis dan pagi-pagi begini sudah kembali tiba disini?”
“Ya, semalam aku pergi di Baitul Maqdis.”
Abu Jahal tertawa sambil menggeleng-geleng heran,
“Apakah kamu berani menyatakan hal ini di muka kaumku? Kalau memang berani, saya akan memanggil mereka. Ceritakanlah kepada mereka hal yang telah kamu katakan kepadaku tadi!”
“Baik panggil mereka kemari,” tegas Rasulullah.
Seketika itu juga, Abu Jahal pergi memanggil semua pembesar Quraisy dan orang-orang biasa.
Dalam waktu singkat, semua orang berduyun-duyun ke hadapan Rasulullah.
“Hai Muhammad!” Seru Abu Jahal.
“Katakanlah kepada kaumku sekarang seperti yang kamu katakan tadi kepadaku!”
Rasulullah pun bersabda,
“Semalam saya pergi ke Baitul Maqdis.”
Orang-orang terperangah. Semua orang yang hadir disitu bersikap seolah olah kurang jelas mendengar kata-kata Rasulullah.
“Pergi kemana, Muhammad?”
“Semalam saya pergi ke Baitul Maqdis.”
Seketika itu, gemparlah suasana. Suara tawa dan cemooh menggemuruh. Mengalahkan suara suara itu Abu Jahal berteriak,
“Muhammad itu memang selalu mengada-ada dengan ucapannya!”
Olok-olok makin terdengar riuh. Ada yang mengejek. Ada yang tertawa. Ada yang bertepuk tangan.
Bagi bangsa Arab, tepuk tangan adalah bukan tanda semangat. Tepuk tangan atau menaruh tangan diatas kepala adalah tanda mengejek dan hinaan bagi seseorang yang kata katanya dianggap tidak bisa dipercaya.
Orang-orang itu memanggil Abu Bakar. Mereka ingin tahu yang akan dikatakan Abu Bakar, orang yang selama ini begitu kukuh kepercayaannya kepada Rasulullah.
Abu Bakar Membenarkan Cerita Rasulullah
“Kalian berdusta,” kata Abu Bakar kepada orang orang yang datang kepadanya.
“Sungguh, Muhammad kini berada di Ka’bah sedang berbicara dengan orang banyak.”
“Kalaupun itu yang dikatakannya,” kata Abu Bakar,
“Tentu dia bicara yang sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi pada waktu malam atau siang aku percaya. Padahal tadi itu lebih mengherankan daripada berita sekarang ini.”
Abu Bakar kemudian mendatangi Rasulullah. Saat itu, orang-orang Quraisy sedang meminta Rasulullah menggambarkan bentuk Baitul Maqdis. Mereka tahu, Rasulullah belum pernah satu kali pun berkunjung ke tempat itu. Sementara itu, beberapa orang dari mereka telah terbiasa berdagang sampai ke Syam dan melewati Baitul Maqdis berkali-kali. Abu Bakar adalah salah seorang yang pernah berdagang ke sana.
Mendengar Rasulullah begitu tepat menggambarkan keadaan Baitul Maqdis, Abu Bakar berkata di hadapan semua orang,
“Rasulullah, saya percaya!”
Bahkan, orang-orang kafir sekali pun menggeleng geleng kepala, heran bercampur kagum mendengar kata-kata Abu Bakar. Mereka menghormati kesetiaan dan tingginya rasa percaya Abu Bakar kepada Rasulullah.
Rasulullah sendiri sangat gembira mendengar perkataan Abu Bakar. Padahal saat itu, semua orang dihadapannya tengah bertanya-tanya, mengejek, dan mencaci. Bahkan yang lebih menyakitkan, beberapa orang yang sudah memeluk Islam kembali murtad karena tidak percaya dengan apa yang Rasulullah sampaikan.
Sejak saat itu Rasulullah memberi julukan kehormatan dan kesayangan “As-Shiddiq” kepada Abu Bakar. Artinya adalah “yang tulus hati”, “yang sangat jujur.”
Bukti dari Kafilah
Merasa belum cukup mendengar betapa tepat gambaran Rasulullah tentang Baitul Maqdis, orang-orang Quraisy meminta bukti yang lain.
Rasulullah mengatakan, bahwa dalam perjalanan, beliau melewati beberapa kafilah yang sedang dalam perjalanan menuju Mekah atau ke arah Syam. Rasulullah mengatakan bahwa di salah satu kafilah, seekor unta terjerembab karena terkejut oleh kehadiran Buraq. Rasulullah juga mengatakan tempat kafilah itu berada.
“Saya melanjutkan perjalanan,” demikian sabda Rasulullah,
“sampai tiba di Dhajanan, melewati sebuah kafilah bani fulan. Kutemukan mereka semua sedang tertidur. Mereka mempunyai sebuah guci yang tertutup. Saya membuka tutupnya dan meminum air itu lalu menutupnya kembali.”
Sudah menjadi kebiasaan kafilah Arab untuk menyediakan guci minum yang bisa dinikmati oleh siapa pun tanpa perlu izin lagi. Bahkan biasanya yang disediakan adalah susu.
“Sebagai bukti kafilah itu sekarang sedang menuruni dataran tinggi Baydha di celah Tan’im. Kafilah itu dipimpin seekor unta berwarna kelabu dengan muatan dua kantong, yang satu hitam dan yang lain belang.”
Orang-orang kemudian bergegas menuju celah itu. Mereka menemukan bahwa unta pertama yang mereka jumpai sedang memimpin kafilah memang persis seperti yang digambarkan Rasulullah.
Orang-orang juga bertanya kepada anggota kafilah itu tentang guci air.
“Ketika kami bangun pada pagi hari tadi, guci itu masih tertutup, tetapi isinya kosong. Padahal semalam guci itu penuh berisi air,” jawab anggota kafilah.
Orang-orang saling berpandangan mengakui yang Rasulullah katakan. Terlebih lagi setelah itu, mereka bertanya pada rombongan kafilah lain tentang unta yang terjerembab.
“Kami memang terkejut mendengar sesuatu seperti apa yang bergerak cepat di langit. Sesuatu itu membuat seekor unta kami terkejut dan terjerembab.”
Demikian bukti-bukti kebenaran Isra’ Mi’raj sudah begitu kuat. Namun, orang-orang seperti Abu Jahal tidak bisa berubah menjadi orang beriman.
(Bersambung)