Pindang Ayam Grobogan, Pemersatu Keluarga
Setidaknya info menu itulah yang kami tunggu, setidaknya sekali setahun di rantauan, sebagai kunci dalam kumpul keluarga. Kumpul lebaran tahunan pun di “woro-woro”, dengan kata “jangan pindang siap”. Artinya waktunya siap berkumpul.
Saat di kampung halaman kami dulu di kabupaten Grobogan – Jawa Tengah, sayur pindang ini juga pemersatu warga kampung. Biasanya sehabis slametan warga makan nasi dengan sayur pindang ini yang berupa kuah ayam warga kehitaman.
Di perantauan, kenangan itu menjadi sesuatu yang dikangeni anggota keluarga. Seperti apa pindang ayam Grobogan? Bagaimana proses pembuatannya, dan bagaimana sejarahnya? Sebentar,… Ikuti ceritanya disini…
Pindang ayam grobogan ini beda dengan pindang pegagan, pindang meranjat, menu khas sumatera, yang kaya rempah dengan warna cerah. Pindang ayam Grobogan ini mirip rawon rawa timur yang berupa kuah warna kehitaman. Bedanya pindang ayam ini mengandung santan.
Pembuatannya, pindang ini adalah air rebusan ayam ingkung. Ayam ingkungnya sendiri nanti dijadikan sebagai lauk utama pada saat makan. Ayamnya nanti disuwir-suwir mengikuti jumlah hadirin yang ada. Sangat fleksibel sekali. Kata mak dan kakak perempuan saya, bumbu pindang ayam ini adalah bumbu komplit ditambah dengan keluak mateng sehingga warna hitam mendominasi. Rasanya gurih. Satu ekor ayam bisa menghasilkan pindang dalam sepanci besar, tergantung volume yang diinginkan, tentu tambahan bumbunya proporsional sesuai takaran air kuahnya.
Penyajiannya, pindang ayam, disajikan dengan mengguyurkannya pada nasi hangat ditambah lauknya berupa daging ayam hasil suwiran ingkung ayam tadi. Hebatnya pindang dan ingkung ayam ini, hadirinnya banyak cukup, karena tinggal diperbanyak kuahnya, dagingnya tinggal disuwir sesuai jumlah dibutuhkannya. Hadirin sedikit ya cukul juga pasti. Suwuran dagingnya tentu lebih besar.
Bagaimana sejarahnya? Kalau versi kampung kami sih, ya tahunya dari saya kecil ya seperti itu. Namun ketika saya googling, pindang ayam ini nampaknya modifikasi budaya dari pindang kudus. Pindang kudus nanti ada kaitannya dengan syiar Islam Sunan Kudus.
Pindang kudus, menurut bacaan, adalah juga modifikasi dari pergeseran budaya kuliner zaman Hindu. Sunan Kudus menghormati penganut Hindu yang tidak makan daging sapi karena sapi adalah hewan kehormatan yang tidak dikonsumsi di Hindu. Maka pindang kudus diganti dagingnya dengan daging kerbau. Ini nampaknya asal muasal pindang ayam Grobogan.
Saya berusaha googling pindang ayam, namun yang saya peroleh bukan oindang ayam seperti rawon, seperti pindang kudus. Maka sementara saya menduga pindang ayam ini modifikasi dari pindang kudus, yang dagingnya kemudian diganti dari daging kerbau dengan daging ayam.
Di kampung kami di Grobogan sana dulu, setiap awal bulan puasa dan setiap awal syawal (Iedul Fitri) selalu diadakan kenduri setiap rumah dengan sajian utama, nasi satu wadah besar, dan ayam satu ingkung. Setelah dibacakan doa oleh “modin” tukang mimpin doa, maka nasi, ayam, krupuk, srudeng dibagi kepada sejumlah hadirin. Pindah rumah, demikian dilakukan hingga satu lingkungan selesai. Ayam kecil maupun besar, hadirin banyak atau sedikit, selalu cukup. Setelah itu dilanjutkan makan denga tambahan kuah pindang ayam.
Di perantauan, Banjarbaru Kalimantan Selatan, kini kami tidak adakan kenduri sepeti di Jawa dulu, tapi menggunakan pindang ayam sebagai pemersatu keluarga untuk berkumpul bersama.###